jump to navigation

ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN Juni 19, 2008

Posted by mufthil in Uncategorized.
trackback

1. Idealisme

a. Hakikat Idealisme

Idealis adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipaham, dalam kebergantungan pada jiwa (mind) dan spirit ( roh). Istilah ini di ambil dari “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Keyakinan ini ada pada Plato. Idealis mempunyai argumen efistimologis tersendiri. Mereka mengunakan argumen yang mengatakan bahwa objek-objek pada akhirnya adalah ciptaan tuhan; argument orang idealis mengatakan bahwa objek-objek fisik tidak dapat dipahami terlepas dari spirit[1]

Idealisme termasuk dalam kelompok filsafat tertua. Tokoh aliran ini ada;ah Plato (427-347 SM) yang secara umum dipandang sebagai Bapak Idealisme di Barat yang hidup kira-kira 2500 tahun yang lalu. Aliran ini menurut –Poedjawijatna- memandang dan menganggap yang nyata hanya idea. Idea tersebut selalu tetap atau tidak mengalami perubahan dan pergeseran. Aliran filsafat Idealisme menekankan moral dan realitas spiritual sebagai sumber-sumber utama di alam ini.

Sejarah idealisme berawal dari pemikiran Plato (427-347 SM). Pemikirannya berpengaruh terhadap para pemikir ± 2000 tahun sesudahnya, termasuk pemikir dikalangan agama Masehi. Aliran ini juga telah ikut berpengaruh kepada pemikiran filusof Barat, seperti Immanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Menurut Plato, kebenaran empiris yang dilihat dan rasakan terdapt dalam alam ideal (esensi), form atau ide.

2. Perenialisme.

Perennialisme berasal dari kata perennial diartikan sebagai continuing throughout the whole year, atau lasting for a very long time abadi atau kekal dan pana berarti pula tiada akhir,[2] Dengan demikian essensi kepercayaan filsafat Perennial ialah berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat abadi. Perenialisme, sesuai dengan namanya yang berarti segala sesuatu yang ada sepanjang sejarah, maka perenialisme dianggap suatu aliran yang ingin kembali atau mundur kepada nilai-nilai masa lampau dengan maksud mengembalikan keyakinan akan nilai-nilai asasi manusia masa silam untuk menghadapi problem kehidupan manusia saat sekarang dan bahkan sampai kapanpun dan dimanapun[3]

a. Ciri-Ciri Perennealis

1). Perenialisme berakar pada tradisi filosofis klasik yang dikembangkan oleh plato, Aristoteles dan Santo Thomas Aquines.

2). Sasaran pendidikan ialah kemampuan menguasai prinsip kenyataan, kebenaran dan nilai-nilai abadi dalam arti tak terikat oleh ruang dan waktu.

3). Nilai bersifat tak berobah dan universal.

4). Bersifat regresif (mundur) dengan memulihkan kekacauan saat ini melalui nilai zaman pertengahan (renaissance).[4]

Perennialis memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpang siuran. Perennealis melihat akibat atau ujung dari zaman sekarang ini telah menimbulkan banyak krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, untuk mengobati zaman yang sedang sakit , maka aliran ini memberikan konsep regressive road to cultural yakni kembali atau mundur kepada masa lampau yang masih ideal. Adapun jalan yang ditempuh adalah dengan cara regresif, yakni kembali kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar tingkah pada zaman kuno dan abad pertengahan, Prinsip umum yang ideal ini berhubungan dengan nilai ilmu pengatahuan, realita, moral yang mempunyai peran penting dan pemegang kunci bagi keberhasilan pembangunan kebudayaan..

2. Esensialisme.

a. Hakikat dan prinsip esensialisme

Filsafat Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan pada nialai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Ia muncul pada zaman renaissance dengan ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaan utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksebelitas, dimana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.[5] Essemnsialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memeiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. [6] essensislisme suatu aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan ide filsafat idealisme objektif di satu sisi dan realisme objektif di sisi lainnya.[7] Oleh karena itu wajar jika ada yang mengatakan Platolah sebagai peletak asas-asas filosofis aliran ini, ataupun Aristoteles dan Democratos sebagai peletak dasar-dasarnya. Kendatipun aliran ini kemunculan aliran ini di dasari oleh pemikiran filsafat idealisme Plato dan realisme Aristoteles, namun bukan berarti kedua aliran ini lebur kedalam paham esensialisme.[8] Aliran filsafat essensialisme pertama kali muncul sebagai reaksi atas simbolisme mutlak dan dogmatisme abad pertengahan. Filsafat ini menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama karena kebudayaan lama telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia.[9]

Dari paparan diatas dapat disimpulkanb bahaw prinsip=prinsip Essensislisme adalah :

1). Esensialisme berakar pada ungkapan realisme objektif dan idealisme objektif yang moderen, yaitu alam semesta diatur oleh hukum alam sehingga tugas manusia memahami hukum alam adalah dalam rangka penyesuaian diri dan pengelolaannya.

2). Sasaran pendidikan adalah mengenalkan siswa pada karakter alam dan warisan budaya. Pendidikan harus dibangun atas nilai-nilaiyang kukuh, tetap dan stabil[10]

3). Nilai (kebenaran bersifat korespondensi ).berhubungan antara gagasan dengan fakta secara objekjtif.

4). Bersifat konservatif (pelestarian budaya) dengan merefleksikan humanisme klasik yang berkembang pada zaman renaissance.

. Progresivisme.

a. Pengertian dan Ciri-ciri

Progresivisme secara bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat. Dalam filsafat pendidikan progrevisme adalah suatu aliran yang menekankan, bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka sedemikian rupa sehingga mereka dapat berpikir secara sistimatis melalui cara-cara ilmiah seperti memberikan analisis, pertimbangan dan pembuatan kesimpulan menuju pemelihan alternative yang paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang dihadapi.[11] Progresivisme disebut juga instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelejensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dia disebut eksperimentalisme karena aliran tersebut mneyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Ia juga dinamakan enviromentalisme karena aliran ini memnggap bahwa lingkungan hidup mempengaruhi pembinaan kepribadian [12]. Adapun ciri-ciri filsafat progresivisme adalah :

1). Progresivisme berakar pada pragmatisme.

2). Sasaran pendidikan ialah meningkatkan kecerdasan praktis (kompetensi) dalam rangka efektivitas pemecahan masalah yang disajikan melalui pengalaman.[13]

3). Nilai bersifat relative, terutama nilai duniawi, menjelajah aktif, evolusioner dan konsekuensi perilaku.[14]

Pragmatisme.

a. Hakikat dan Ciri-ciri Pragmatisme

Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.Aliran ini bersedia menerima apa saja, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, mistik semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asal membawa akibat yang praktis yang bermanfaat.. dengan demikian, Patokan pragmatis adalah manfaat bagi hidup praktis.

Di Amerika Serikat pragmatisme mendapat tempat tersendiri dengan melekatnya nama William James sebagai tokohnya, di samping John Dewey.Di InggrisF.c Schiller. [15]

Filsafat pragmatis dalam perkembangannya selanjutnya, aliran ini menyetujui tiga patokan yaitu : (1)Menolak segala inteletualiasme (2)Obsolutisme (3) meremehkan logika formal. Aliran ini memandang realitas sebagai Sesuatu yang secara tetap mengalami perubahan terus menerus. James mengatakan bahwa kebenaran tiada yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena didalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikorelasi oleh pengalaman berikutnya, Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutlak yang adalah kebenaran-kebenaran yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat berubah oleh pengalaman berikutnya.[16]sementara itu Horne mengatakan bahwa pragmatis adalah satu aliran yang lebih mementingkan orientasinya kepada pandangan antriposentris (berpusat kepada manusia) kemampuan kreativitas dan pertumbuhan manusia kearah hal-hal yang bersifat praktis, kemampuan kecerdasan dan individualita serta perbuatan dalam masyarakat. [17]

Mempergunakan pengalaman sebagai usaha mencapai kebenaran yang hakiki. Hal ini berarti bahwa manusia akan mampu membuat hakikat bagi dirinya, sebab manusia merupakan subjek yang mengalami dan membahas hasil pengalaman. Melalui proses pembahasan tersebut, pada gilirannya manusia kan menemukan nilai-nilai dan hakikat yang berguna dalam hidupnya. Untuk keluar dari pikiran yang abstrak ke dunia nyata digunakan metode ilmiah. Untuk itu agar manusia sampai pada hakikat maka metode yang digunakan adalah metode induktif. Ilmu pengetahuan diambil sifatnya dari dan dalam kerja. Sebelumnya nilai hanya merupakan pengetahuan sebelum teruji secara ilmiah dalam pengalaman.[18].

Dengan demikian , maka yang benar adalah apa yang pada akhirnya disewtujui oleh semua orang menyelidikinya..Kebenaran ditegaskan dalam istilah-istilah penyelidikan.Kebenaran sama sekali bukan yang sekali ditentukan kemudian tidak boleh diganggu gugat, sebab dalampraktiknya kebenaran itu mempunyai nilai fungsional tetap.Segala pernyataaan yang dianggap benar pada dasarnya bisa berubah.


[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan hati sejak Thales sampai Capra, (Bandung: Rosdakarya, 2003), h. 144

[2] Djumransjah, Pengantar Filsafat pendidikan,( Malang: Bayumedia, 2004), h. 185, Zuhairini, Filsafat Pendidikan islam, Jakarta: Bumi aksara, 1992, h. 27

[3] Muhammd Nur Syam, Filsafat Pendidikan dan dasar filsafat Pancasila, (Srabaya: usaha nasional, 1986), h. 295

[4] Oong Komar, Filsafata Pendidikan Non Formal, (Bandung : Pustaka setia, 2006),h.158

[5] Jalaluddin, Abdullah Idi, Op-Cit, h. 81

[6] Zuhairini, Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi aksara, 1991), h. 21

[7] Idealisme positif mempunyai pandanagan bahwa realitas adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan atau ided-ide dibalik penomena ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan yang merupakan pencipta adanya kosmos. Sedangakan realisme positif titik berat tinjauannya adalah alam dan dunia pisik , Jallauddin h. 82

[8] Muhmidayeli, filsafat pendidikan Islam,( Yogyakarta:Aditya media, 2005), h.184

[9] B.Hamdani Ali, Filsafat pendiikan, (Yogyakarta : kota kembang, 1993), h. 116

[10] Muhmidayalei, Op-Cit, 185

[11] Muhmidayeli, )p-Cit,h,162

[12] Jalaluddin, Adullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gramedia Pratama, 1997), h. 70

[13] I b I d, h. 72

[14] Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan demikian adanya pergaulan. Masyrakat menjadi wadah timbulnya nialai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan kecerdasan dari individu-individu. Bernadib 1994; 31-33. Lihat Jalaluddin,Nilai itu benar atau salah baik atau buruk dapat dikatas ada bila menunjukkan kecocokaN dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulannya.

[15] Kata pragmatisme diambil dari darikata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce ( 1839-1914), Filosof Amerika yang pertama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat, tetapi pengertian pragmatis telah terdapat juga pada Socrates, Aristoteles, Berceley dan Hume. Pragmatis pada abad 20 lebih dikenal dengan prgamatis William James ia adalah tokoh yang paling bertanggung jawab yang membuat pragmatisme menjadi terkenal di seluruh dunia. James mengatakan bahwa gejala-gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang berlainan. Bagi orang perorangan kepercayaan terhadap suatu realitas kosmis yang lebih tinggi merupakan nilai subjektif yang relative sepanjang kepercayaan itu memberikan kepercayaan penghiburan, penguatan keberanian hidup, perasaan damai, keamanan. Nilai agama memang tidak melebihi hal-hal subjektif, Oleh karena itu segala macam pengalaman keagamaan mempunyai nilai yang sama, jikalau akibatnya sama-sama memberikan kepuasan kepada kebutuhan keagamaan. Lihat Juhaya S. Praja, aliran-aliranFilsafat dan etika h. 172-174, bandingklan dengan Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,h. 189- 198

[16]Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta : Kencana, 2005), h.. 172

[17] Ramayulis, Op-Cit, h.23

[18] I b I dt, h. 24

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar